Tashkent, ibu kota Uzbekistan, adalah kota yang penuh dengan sejarah, tradisi, dan budaya yang kaya. Pada hari Jumat, suasana kota berubah dengan cara yang unik, terutama bagi umat Muslim yang bersiap-siap untuk melaksanakan salat Jumat.

Salah satu destinasi spiritual yang penting di Tashkent adalah Masjid Novza, sebuah masjid besar yang terletak di bagian barat daya kota.

Untuk menuju ke sana, cukup naik metro ke stasiun Novza, sama dengan nama masjidnya, lalu jalan kaki beberapa menit.

Keluar dari stasiun Novza, cuaca cerah dan hangat mengiringi langkah saya saat berjalan menuju Masjid Novza. Suasana di pedestrian cukup ramai. Banyak orang yang juga berjalan santai menuju masjid.

Di kaki lima di tepi jalan ini, saya melewati penjual buah yang menjajakan dagangan mereka di pinggir jalan. Tashkent dikenal sebagai salah satu penghasil buah-buahan terbaik di Asia Tengah, dan kualitas buah-buahan yang ditawarkan sangat segar dan menggiurkan. Kalau kemaren di Chorsu Bazaar saya belum melihat melon, di sini ternyata sudah ada melon yang ukurannya tidak terlalu besar.

Aroma jeruk, melon, dan buah persik yang matang tercium di udara, membuat saya tergoda untuk berhenti sejenak dan mencicipi.

Seorang penjual buah yang ramah menyapa saya dengan senyum lebar. Meskipun bahasa Uzbek saya terbatas, keramahan mereka begitu terasa. Untungjya dengan bahasa Rusia seadanya saya masih dapat berkomunikasi dengan penjual yang usianya sekitar 50 tahunan. Saya akhirnya membeli beberapa buah aprikot, yang manis dan menyegarkan, menjadi camilan yang sempurna selama perjalanan. Saya simpan di dalam tas kecil saya.

Berinteraksi dengan penjual buah di jalan adalah salah satu momen yang membuat saya merasa lebih dekat dengan budaya setempat. Kehangatan dan keramahan mereka memberikan kesan mendalam tentang bagaimana kehidupan sehari-hari di Tashkent.

Tidak jauh dari tempat penjual buah, saya menemukan penjual ayran, minuman tradisional Asia Tengah yang terbuat dari yogurt yang dicampur dengan air dan sedikit garam. 

Minuman ini sangat populer, terutama saat cuaca panas, karena kesegarannya yang khas. Seorang pria tua dengan kereta kecil menjual ayran dari wadah besar. Saya memutuskan untuk berhenti sejenak dan mencoba. Harganya hanya 2000 Sum.

Ayran yang dijualnya sangat menyegarkan, dengan rasa yang sedikit asam namun menenangkan tenggorokan. Minuman ini tidak hanya memuaskan dahaga, tetapi juga memberikan energi baru untuk melanjutkan perjalanan menuju masjid.

Sambil menyeruput ayran, saya berbincang-bincang singkat dengan penjualnya. Meski kami tidak memiliki banyak kata yang sama, gestur dan senyuman cukup untuk menyampaikan rasa terima kasih dan rasa puas atas minuman yang menyegarkan tersebut.

Di sebelah gerai ayran ini, juga ada penjual minuman tradisional lainnya yaitu Mors seperti yang sudah saya cicipi di dekat stasiun metro Bodomzor kemarin. Saya janji aja mencoba kembali minuman ini setelah salat Jumat.

Ketika saya mendekati Masjid Novza, suasana berubah. Jalanan mulai dipenuhi oleh orang-orang yang berjalan menuju masjid, bersiap-siap untuk melaksanakan salat Jumat.

Terdapat suasana ketenangan dan keseriusan di udara. Orang-orang berpakaian rapi, banyak yang mengenakan pakaian tradisional Uzbek, dengan peci dan jubah, sementara yang lain berpakaian kasual namun tetap rapi. Di antara mereka ada yang bergegas, ada juga yang melangkah dengan tenang, semua dengan tujuan yang sama: memenuhi kewajiban agama mereka.

Tepat di depan masjid ada papan elektronik yang menunjukkan nama masjid dan waktu waktu solat dalam bahasa Uzbek. Mirip dengan yang pernah saya lihat di Masjid Chinor tahun lalu.

Masjid Novza terlihat megah, bahkan dari kejauhan, dengan kubah-kubah birunya yang mengesankan. Masjid ini adalah salah satu yang terbesar di Tashkent, dan menjadi pusat kegiatan keagamaan bagi komunitas Muslim di kota tersebut. 

Arsitektur masjid mencerminkan gaya tradisional Asia Tengah dengan sentuhan modern. Kubah besar di tengah masjid dan menara yang menjulang tinggi menjadi pemandangan yang ikonik, memancarkan aura ketenangan dan spiritualitas.

Memasuki Iwan atau pintu gerbangnya, saya tiba di lapangan yang sudah mulai ramai ditebarkan karpet warna merah untuk solat. Ruangan di dalam masjid sudah penuh oleh jemaah sehingga saya pun terpaksa duduk di ruang terbuka yang sedikit panas terpanggang sinar mentari bulan Juni di Tashkent.

Sebagian orang masih sibuk mengambil wudhu di tempat yang disediakan, sementara yang lain sudah duduk di dalam masjid, membaca Al-Qur’an atau berdoa. Saya bergabung dengan mereka, mengambil wudhu di area terbuka yang didesain dengan sangat praktis untuk menampung banyak jamaah.

Tak lama kemudian, imam mulai memberikan khutbah. Meskipun khutbah disampaikan dalam bahasa Uzbek, dengan sedikit bangan istilah dalam bahasa Arab, saya dapat merasakan betapa dalamnya makna yang disampaikan. 

Suasana di masjid sangat khusyuk, dengan ribuan jamaah yang mendengarkan dengan penuh perhatian. Saya merasa menjadi bagian dari komunitas yang lebih besar, meskipun saya seorang asing di tempat ini. Kekuatan spiritualitas dan persaudaraan di masjid ini sangat terasa, dan memberikan saya pengalaman yang mendalam.

Dan sama seperti ketika salat Jumat di Samarkand tahun lalu, total rakaat nya ada selusin atau dua belas.

Setelah salat Jumat selesai, suasana masjid berubah. Orang-orang mulai berdiri, berbicara satu sama lain, dan perlahan-lahan meninggalkan masjid. Beberapa jamaah tetap tinggal untuk berdoa atau berdzikir.

Yang menarik adalah orang-orang juga mulai sibuk menggulung kembali karpet yang tadi dibentangkan di halaman tengah dan memasukkannya kembali di tempatnya yang sekilas mirip sangkar dari kawat.

Saya kemudian memasuki ruang utama masjid dan disambut oleh keindahan interiornya. Dinding-dindingnya dihiasi dengan kaligrafi Arab yang indah, sementara lantainya dilapisi karpet tebal yang nyaman. Cahaya lembut yang masuk melalui jendela-jendela tinggi menambah suasana tenang dan khidmat di dalam masjid.

Puas menikmati keindahan interior masjid Novza, saya berjalan di tengah kerumunan jemaah yang berjalan menuju stasiun metro. Di luar masjid, orang berkumpul kembali untuk berbincang-bincang.

Ada penjual makanan dan minuman batu yang mulai bermunculan, menawarkan berbagai hidangan lokal. sesuai janji saya kembali menikmati segelas plastik Mors yang segar.Suasana setelah salat Jumat di Masjid Novza adalah perpaduan antara keseriusan spiritual dan keramahan sosial.

Saya berjalan keluar dari masjid dengan perasaan damai. Perjalanan menuju dan dari Masjid Novza pada hari Jumat bukan hanya tentang melaksanakan kewajiban agama, tetapi juga sebuah pengalaman yang penuh warna, yang melibatkan interaksi dengan orang-orang, mencicipi makanan dan minuman lokal, serta merasakan kekuatan spiritualitas yang mendalam.

Sebelum sampai di stasiun metro, saya sempat mampir ke sebuah restoran tradisional yang kali ini ramai dengan orang-orang yang baru selesai solat .

Antrean untuk memesan makanan cukup panjang, namun aroma makanan Uzbek yang menggoda sekan memberitahu saya bahwa di sini saya akan menemukan hidangan lezat yang otentik.

Restoran ini kunyahan besar, dengan suasana yang sangat khas Uzbekistan. Di pintu masuk, terdapat dekorasi khas dengan kain dan pola tradisional yang berwarna-warni.

Karena modelnya siap saja dan hanya menunjuk makanan di etalase, saya memilih menu yang berfokus pada hidangan daging, nasi, dan roti. Tentu saja tidak lupa plov, hidangan nasi yang dimasak dengan daging domba, wortel, dan bawang yang menjadi salah satu kebanggaan kuliner Uzbekistan. Tidak hanya itu, saya juga memesan samsa, yaitu roti panggang berbentuk segitiga yang diisi daging dan rempah-rempah.

Ketika plov disajikan, aroma rempah yang kuat langsung tercium. Nasi dalam plov ini dimasak dengan sempurna, empuk namun tidak lembek, sementara daging dombanya terasa lembut dan beraroma khas. Wortel yang dipotong panjang-panjang memberikan rasa manis yang seimbang dengan gurihnya nasi dan daging. 

Satu gigitan, dan saya langsung memahami mengapa plov menjadi salah satu hidangan paling populer di Uzbekistan. Rasa dari setiap bahan begitu menyatu, menciptakan pengalaman rasa yang kaya dan memuaskan.

Buat saya plov tidak pernah membosankan walau saya sudah mencobanya di berbagai tempat di negeri ini. Uniknya perkenalan saya pertama kali dengan plov adalah di Moskwa, sekitar 16 tahun lalu.

Samsa yang hadir di pinggan bundar kecil juga tidak kalah nikmat. Roti yang renyah di bagian luar menyimpan isian daging bumbu dengan rempah yang pas. Setiap gigitan terasa lezat dan hangat, cocok untuk melengkapi hidangan utama.

Selama Epictoto menikmati hidangan, saya memperhatikan suasana di sekitar restoran. Banyak orang yang baru selesai salat Jumat juga datang ke sini untuk makan siang. Beberapa di antaranya adalah keluarga dengan anak-anak, sementara yang lain adalah sekelompok teman atau rekan kerja yang makan bersama. Suasana di restoran ini sangat hangat dan penuh dengan percakapan, mencerminkan kehidupan sosial masyarakat Uzbekistan yang erat dan bersahaja.

Setelah menikmati makaan, saya memutuskan untuk menutup makan siang dengan teh hijau tradisional Uzbekistan, yang dikenal dengan kesegarannya. Teh disajikan dalam teko kecil dengan cangkir-cangkir tanpa pegangan. Minum teh setelah makan adalah tradisi penting di Uzbekistan, yang bertujuan untuk membantu pencernaan dan menyegarkan diri setelah makan.

Sebagai teman minum teh, ada chak-chak, sejenis kue manis khas Uzbek yang terbuat dari adonan goreng yang dicampur dengan madu. Konon Chak Chak ini bukan asli makanan Uzbekisan melainkan berasal dari Tatarstan, dan saya sendiri pernah mencicipinya di Kazan sekitar 11 tahun lalu. Rasa manis dengan tekstur yang renyah menjadi penutup sempurna setelah makan siang yang lezat. Harga makanan di sini tidak mahal, saya hanya menghabiskan sekitar 30 ribu sum saja.

Saat menyeruput teh hijau yang nikmat, saya merenungkan makna perjalanan hari ini. Dari salat Jumat yang khusyuk di Masjid Novza hingga makan siang di restoran tradisional yang penuh kehangatan, setiap momen hari ini memberikan gambaran yang lebih dalam tentang kehidupan dan budaya di ibukota Uzbekistan ini.

Orang-orang yang dijumpai sepanjang hari ini, mulai dari penjual buah, penjual ayran, hingga pelayan restoran, semuanya menunjukkan keramahan yang tulus, membuat pengalaman saya di Uzbekistan semakin bermakna.

Makan siang ini bukan hanya soal rasa makanan, tetapi juga soal bagaimana budaya, agama, dan tradisi menyatu dalam kehidupan sehari-hari dalaknmasyarakat Uzbekistan. Perpaduan antara spiritualitas yang kuat di masjid dan kehidupan sosial yang hangat di luar masjid menciptakan keseimbangan yang harmonis dalam kehidupan mereka.

Saya meninggalkan restoran dengan perasaan puas, tidak hanya karena kenyangnya perut saya, tetapi juga karena kekayaan pengalaman budaya yang saya alami hari ini di Tashkent.