Kafein merupakan zat stimulan, yaitu zat yang dapat meningkatkan aktivitas otak dan saraf. Kafein terkandung di dalam beberapa jenis makanan maupun minuman, seperti cokelat, kopi, teh, dan minuman berenergi. Jika dikonsumsi dalam batas wajar, kafein biasanya tidak menimbulkan masalah atau ketergantungan.

Namun, waspadalah jika muncul keluhan kesehatan ketika tidak mengonsumsi kafein. Hal ini dapat menandakan ketergantungan kafein dan dapat memicu munculnya gejala putus kafein saat tidak mengonsumsi stimulan tersebut. Simak informasi lebih lanjut terkait gejala putus kafein yang perlu diwaspadai dan cara mengatasinya.

Apa itu Putus Kafein?

Kafein adalah zat yang dapat menstimulasi otak dan sistem saraf pusat. Mengonsumsi kafein dapat meredakan rasa kantuk dan membuat seseorang menjadi tetap terjaga. Pada dasarnya, kafein tergolong aman untuk dikonsumsi, terutama jika masih dalam batas wajar. Namun, konsumsi kafein secara berlebihan bisa menimbulkan ketergantungan.

Ketergantungan inilah yang dapat membuat seseorang mengalami putus kafein atau caffeine withdrawal saat berhenti mengonsumsi kafein secara tiba-tiba. Caffeine withdrawal adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan efek samping yang dialami oleh seseorang saat berhenti mengonsumsi kafein setelah mengalami ketergantungan.

Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders 5th Edition (DSM-5), gangguan perilaku dan sikap karena putus kafein tergolong ke dalam salah satu gangguan kesehatan mental.

Penyebab Putus Kafein

Perlu diketahui bahwa tidak semua orang akan mengalami gejala putus kafein saat berhenti mengonsumsi makanan maupun minuman yang mengandung kafein. Namun, kemunculan gejala putus kafein dapat dipengaruhi oleh jumlah kafein yang biasanya dikonsumsi. Jika seseorang sering mengonsumsi kafein secara berlebihan, kemungkinan munculnya gejala putus kafein akan semakin tinggi.

Gejala Putus Kafein

Gejala putus kafein biasanya dapat muncul pada 12–24 jam setelah seseorang berhenti mengonsumsi makanan atau minuman yang mengandung kafein. Gejala tersebut akan memuncak sekitar 20–51 jam setelah berhenti mengonsumsi, dan dapat bertahan selama 2–9 hari. Adapun beberapa gejala umum putus kafein adalah:

1. Sakit Kepala

Gejala putus kafein yang pertama dan paling sering terjadi adalah sakit kepala. Kafein diketahui dapat menyebabkan melambatnya aliran darah. Ketika seseorang mengurangi atau menghentikan konsumsi kafein, aliran darah akan meningkat.

Perubahan aliran darah inilah yang dapat menimbulkan gejala berupa sakit kepala, terutama jika terjadi secara tiba-tiba. Durasi dan tingkat keparahan gejala ini cenderung bervariasi pada setiap individu. Namun, sakit kepala biasanya dapat mereda secara perlahan saat tubuh dan otak sudah beradaptasi dengan peningkatan aliran darah tersebut.

2. Kelelahan

Gejala putus kafein berikutnya adalah kelelahan. Hal ini dikarenakan konsumsi kafein bisa meningkatkan energi dan mengurangi rasa kantuk dengan memblokir reseptor adenosin, yaitu senyawa kimia otak yang sering dikaitkan dengan rasa kantuk dan lelah.

Ketika konsumsi kafein dihentikan, reseptor adenosin tersebut akan kembali bekerja dengan normal sehingga membuat sebagian orang merasa lelah dan kurang berenergi. Meski demikian, membiarkan senyawa kimia otak bekerja dengan normal dan stabil bisa membuat tubuh beradaptasi, dan memberikan energi secara berkelanjutan dalam jangka panjang.

3. Kesulitan Berkonsentrasi

Konsumsi kafein dapat meningkatkan kadar hormon adrenalin (epinefrin), yang dapat membuat otak terstimulasi sehingga kewaspadaan dan fokus meningkat. Jika seseorang terbiasa mengonsumsi kafein untuk meningkatkan konsentrasi, menghentikan asupannya secara tiba-tiba bisa berdampak negatif, karena tubuh kesulitan berfungsi dengan normal tanpa adanya stimulasi dari kafein.

4. Perubahan Suasana Hati (Mood)

Mengonsumsi kafein dapat meningkatkan kadar senyawa kimia otak bernama dopamin, yang berhubungan dengan rasa senang. Apabila kafein dikonsumsi secara berlebihan, kemudian dihentikan asupannya secara tiba-tiba, produksi dopamin akan menjadi lebih rendah ketimbang saat mengonsumsi kafein. Hal tersebut bisa menyebabkan perubahan suasana hati (mood) serta membuat seseorang menjadi lebih sensitif.

5. Gemetar (Tremor)

Meskipun tidak sering terjadi seperti gejala lainnya, tremor juga bisa dialami oleh seseorang yang kecanduan kafein, lalu mencoba berhenti mengonsumsinya. Tremor yang muncul sebagai gejala putus kafein ini biasanya terjadi di tangan dan hanya berlangsung selama 2–9 hari.

Cara Mengatasi Gejala Putus Kafein

Gejala putus kafein biasanya hanya terjadi dalam jangka waktu tertentu dan bisa membaik dalam beberapa waktu. Meski demikian, kondisi ini mungkin dapat membuat sebagian orang merasa tidak nyaman dan kesulitan untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Maka dari itu, terdapat beberapa cara yang bisa dilakukan untuk membantu meredakan gejala putus kafein, di antaranya sebagai berikut:

  • Mengurangi konsumsi makanan atau minuman yang mengandung kafein secara perlahan. Misalnya, dengan mengganti jenis kopi yang biasa dikonsumsi menjadi kopi decaf yang rendah kafein.
  • Menjaga hidrasi tubuh dengan minum air putih yang cukup saat sedang mengurangi asupan kafein. Pasalnya, dehidrasi bisa memperburuk gejala putus kafein, terutama sakit kepala dan kelelahan.
  • Tidur yang cukup, setidaknya 7–9 jam setiap malam.
  • Mengonsumsi obat bebas sesuai gejala, misalnya obat golongan antinyeri untuk mengurangi sakit kepala.

Itu dia berbagai gejala putus kafein yang perlu diwaspadai beserta cara mengatasinya. Jika mengalami ketergantungan kafein dan kesulitan untuk menghentikannya, Anda dapat berkonsultasi dengan Psikiatri dari Siloam Hospitals guna mendapatkan penanganan yang tepat.

Untuk memudahkan Anda, Siloam Hospitals juga menyediakan layanan Telekonsultasi yang memungkinkan pasien melakukan konsultasi langsung dengan dokter secara virtual. Melalui layanan ini, dokter juga dapat meresepkan obat-obatan tertentu, dan pasien pun bisa memperoleh resep tersebut tanpa harus keluar rumah. Namun, apabila diresepkan golongan antipsikotik atau antidepresan, pasien perlu mengambil obat secara langsung (self pick up).